Satu Tungku Tiga Batu, Cermin Toleransi Umat di Fakfak Masjid ALWUSTHO

Satu Tungku Tiga Batu, Cermin Toleransi Umat di Fakfak

Fakfak (Kemenag) --- Fakfak adalah nama salah satu Kabupaten di Provinsi Papua Barat. Nama ini diyakini berasal dari kata “PakPak” yang memiliki arti batu kotak-kotak yang bertumpuk. Bebatuan seperti ini dapat dilihat di lokasi pelabuhan Fakfak tempat kapal bersandar. 

Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini menjadi identitas warga asli yang telah mendiami kawasan ini sejak zaman dulu. Hal itu ditandai dengan nama marga yang menjadi identitas warga. 

Etnis Mbaham Matta (WUH) adalah masyarakat Adat tertua yang ada di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Masyarakat Kabupaten Fakfak ini terkenal dengan filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Mereka memahami filosofi tersebut sebagai cerminan toleransi antar umat beragama.

Ditemui di kantornya, Jumat (17/9/2021), Humas Kemenag Kab Fakfak, Alex Iba, bercerita bahwa berdasarkan sejumlah sumber yang dia baca, sejak zaman dahulu, warga suku Mbaham Matta (WUH) yang mendiami Fakfak memasak di atas tungku yang terbuat dari tiga batu besar. Ketiga batu ini memiliki ukuran yang sama, kokoh dan kuat serta tahan panas. Ketiganya disusun membentuk lingkaran sehingga bisa menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak. 

“Bagi masyarakat Kota Pala ini, tungku merupakan simbol dari kehidupan. Sedangkan tiga batu adalah Simbol dari Kau, Saya dan Dia yang menghubungkan perbedaan baik Agama, Suku, dan Status Sosial dalam satu wadah persaudaraan,” ujat Alex Iba.

“Dasar itulah yang kemudian dijadikan sebagai simbol kerukunan di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat,” sambungnya. 

Filosofi Satu Tungku Tiga Batu ini, kata Alex, juga merupakan pengejawatan dari filsafat hidup Etnis Mbaham Matta yang disebut “KO, ON, KNO, Mi Mbi Du Qpona”. Artinya, Kau, Saya, dan Dia Bersaudara. Filosofi ini mengarah pada Adat, Agama, dan Pemerintahan. 

Baca juga: Mengenal Ngejot, Tradisi Berbagi Umat Muslim dan Hindu di Bali

Filosofi Satu Tungku Tiga Batu menjadi pegangan hidup masyarakat Kabupaten Fakfak. Dulu, filosofi ini diwariskan secara turun temurun di dalam keluarga. Pada tahun 1990-an, dilakukan upaya perumus hingga secara resmi ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai filosofi Kabupaten Fakfak. 

Alex menjelaskan, sejak lama, Kabupaten Fakfak dikenal sebagai penghasilan rempah – rempah, salah satunya adalah buah Pala. Hal ini membuat banyak pedagang singgah di Kabupaten Fakfak untuk berniaga, termasuk para pedagang muslim dari Tidore dan Ternate.

Dalam perkembangannya, penduduk Kabupaten Fakfak semakin beragam. Ada di antara mereka yang beragama Islam, Katolik, dan Kristen Protestan. Mereka hidup secara toleran dan harmonis. Kondisi ini bisa dilihat misalnya dalam acara keagamaan. Saat perayaan Idul Fitri dan Natal, semua umat dilibatkan. “Bahkan, bila ada acara pembangunan masjid atau gereja, semua umat juga ikut terlibat, berpartisipasi dan bergotong royong,” tutur Alex Iba. 

Kini, Fakfak menjadi salah satu kabupaten tertua di Provinsi Papua Barat, bahkan di tanah Papua. Filosofi Satu Tungku Tiga Batu telah mengajarkan mereka bahwa perbedaan justru menjadi sarana untuk menyatukan. Warga Fakfak tidak pernah bahkan tidak ada waktu untuk membeda-bedakan agama satu dengan agama yang lain. “Filosofi Satu Tungku Tiga Batu merupakan nafas dari kerukunan dan keakraban dalam peradaban masyarakat yang ada di Kabupaten Fakfak,” tandas Alex. (Humas dan Protokol Kankemenag Kabupaten Fakfak)


Sumber: Kemenag.go.id

Satu Tungku Tiga Batu, Cermin Toleransi Umat di Fakfak